Minggu, 23 Juni 2019
Minggu, 03 April 2016
Belajar Filsafat Alam Bersama Anna
Judul buku : Dunia Anna
Penulis :
Jostein Gaarder
Cetakan :
I, Oktober 2014
Tebal :
244 Halaman
Penerbit :
Mizan
Buku ini merupakan sebuah nofel fiksi tentang filsafat
alam. Dalam baku ini, Gaarder menggambarkan sosok seorang gadis perempuan
bernama Anna Nyrud yang akan memasuki usia 16 tahun. Di balik kepolosan gadis
ini terdapat keunikan yang sangat luar biasa di dalam kepalanya. Dia bisa masuk
dalam khayalannya dan melihat kondisi bumi 70 tahun kedepannya. Sampai-sampai
orang tuanya menganggap ada kelainan jiwa pada dirinya dan membawa dia ke
psikiater.
Tentu dia bukan orang yang sedang sakit, bahkan Benjamin,
dokter yang memeriksanya menyebutkan bahwa Anna merupakan gadis yang sangat
kritis dan mencintai bumi dan segala isinya. Kegelisahannya terhadap kondisi
bumi yang telah mengalami kehancuran membuat dia mempertanyakan nasib bumi
kedepannya sampai akhirnya masuk ke atroposen.
Mempertanyakan perubahan iklim sampai akhirnya menghayalkan pengadilan
iklim yang didirikan di Deen Haag.
Bukan hanya itu, Anna dan kekasihnya Jonas juga
mengkritisi bagaimana manusia bisa hidup santai dengan sebuah kondisi bumi yang
semakin panas akibat pengrusakan lapisan ozon melalui penambangan minyak bumi
serta keberadaan pesawat terbang, mesin pabrik dan pembangunan yang sangat massal.
Mereka juga bingung mengapa manusia lebih ingat nama pemain bola atau nama
makanan ketimbang nama-na flora dan fauna contohnya saja kutu daun. Berapa jumlah
kutu daun di bumi dan bagaimana jenisnya manusia tidak pernah tahu.
Anna akan berulang tahun dua hari lagi tepat pada tanggal
12.12.12, dia di warisi cincin rubbi berwarna biru yang merupakan warisan dari
nenerk moyang mereka ratusan tahun lalu. Cincin itu juga membawa dia jauh
kedalam khayalannya pada tahun 2087 mendatang. Disana dia bernama Olla dan di
tuntut oleh cicit buyutnya bernama Nova Nyrud
yang sudah sangat sedih melihat kondisi bumi yang sangat parah dan tidak
layak huni lagi.
Anna hanya tidak ingin meninggalkan sesuatu yang buruk terhadap
pewarisnya di bumi ini kelak, sama seperti Nova menuntunya dalam khayalannya.
Berdasarkan saran Benjamin, maka Anna dan Jonas sepakat untuk mendirikan sebuah
organisasi lingkungan di sekolah dan memipikan akan adanya pendanaan bagi
setiap flora dan fauna di bumi ini.
Mereka merencanakan sebuah penyelamatan sebanyak 1001 jenis flora dan fauna.
Dengan menikmati khayalannya di masa depan, Anna banyak
belajar dan lebih peduli terhadap kondisi iklim di bumi, baik kondisi hutan
maupun pola hidup manusia yang juga sangat sarat pada perbudakan yang di sebut
Anna dengan “Budak Energi”. Sikaya yang selalu memperkaya dirinya dengan
menguras kekayaan bumi, sementara si miskin akan tetap miskin dan menjadi budak
enegi.
Kontradiski pemikiran Anna terkadang membuat kekasihnya
Jonas sangat bingung, bukan hanya Jonas bahkan terkadang Anna juga merasa dirinya
memang benar sakit dan mempertanyakannya kembali statusnya kepada Benjamin.
Namun Benjamin kembali menegaskan kepadanya bahwa dia bukan orang yang sakit
melainkan unik dan kritis. Pengalaman itu di dapat Benjamin sendiri dari anak
perempuannya Ester yang memiliki kesamaan dengan Anna ketika seumurannya.
Kini Ester telah memiliki anak dan dia bekerja di PBB di
bagian keadilan pangan. Kebetulan dia ditangkap di Somalia oleh para teroris
yang protes atas perencanaan pengeboran minyak di sekitaran perairan Somalia.
Namun akhirnya Ester di lepaskan oleh para penyanderanya.
Dari hal ini juga Anna banyak belajar bahwasanya, banyak
manusia menjadi berbuat jahat karena ketamakan dan kerakusan orang lain.
Sebenarnya semua negara ini merasakah kesejahterhaan, namaun dengan
mngeksploitasi habis-habisan bumi ini bukan lah alasan sebauh negara maju untuk
mengkambinghitamkan kemiskinan. Tidak pantas mereka menyatakan demi mengurangi
kemiskinan maka mereka menyedot minyak bumi sebanyak-banyaknya.
Anna menghayalkan suatu saat di pengadilan iklim di Deen
Haag, Nova akan menyatakan kesaksiaan yang di hadiri kekasihnya dengan meninggalkan
pesan yang sangat bermanfaat bagi masa depan bumi dan merupakan teguran bagi
penguasa untuk menghentikan cacat logika atas pengerusakan iklim, demikian
kesaksian mereka :
“Kami masih muda.
Kami bersaksi bahwa krisis iklim bukanlah sebuah konflik antar bangsa. Hanya
ada satu atmosfer, dan dari luar angkasa tidak dapat dibedakan batas-batas
negara. Yang saling berhadapan dengan konflik ini ialah generasi-generasi, dan
kami sebagai generasi muda saat ini adalah korban dari semua bencana iklim”
*Boy Raja Pangihutan Marpaung (Permerhati
Lingkungan)
Buku Menuju Desa
Terbit Di Harian Analisa
*Boy
Raja Pangihutan Marpaung
Informasi adalah kunci untuk pembangunan
sumber daya manusia. Maka tak heran jika di daerah-daerah yang memiliki akses
yang sangat sulit , sumber daya manusianya sangat minim, Itu karena sirkulasi
informasi yang sangat lambat.
Ada falsafah tua yang telah menjadi
warisan ingatan kita berbunyi “Buku adalah Jendela Dunia”. Falsafah ini menjadi
latah di bibir namun jauh dari pandangan kita. Hampir di seluruh pelosok negeri
ini falsafah ini pernah diucapkan dan diwariskan, namun sampai sekarang saya
melihat bahwa falsafah ini hanya cocok diucapkan di kota-kota saja.
Buku adalah jendela kota, mungkin
begitu yang lebih pantas. Karena akses buku di daerah-daerah memanglah sangat
minim. Sementara, selain koran, bukulah salah satu sumber informasi yang sangat
penting untuk pembangunan sumber daya manusia.
Yang mengherankan, hampir di seluruh
Kabupaten Kota di Indonesia di hadirkan seorang Kepadala Dinas Pendidikan,
namun perpustakaan daerah saja tak ada. Jika pun ada, itu hanya sampai pada
tingkatan Provinsi. Jadi, informasi apa lagi yang bisa dicerna di
daerah-daerah?
Lahirnya Gerakan Buku Menuju Desa
Kesadaran
akan pentingnya informasi sudah menjadi pengalaman bagi mereka yang sempat
berpergian dari desa dan mengecap pendidikan di kota. Namun ketika mereka
kembali kedesa, tak ada perubahan pada
desa terkait aktivitas masyarakat desa karena tidak berkembanya sumber dayanya.Ini
mendeorong beberapa teman-teman yang melakukan sebuah gerakan-gerakan
kecil-kecilan dengan bermodalkan pulang kampung namun membawa berjuta-juta
informasi.
Mengumpulkan
buku-buku dari kota, untuk di bawa ke desa dan membuat ruang informasi bagi
masyarakat. Beberapa teman-teman seperti Gerakan 1000 buku untuk Papua, 1001
Buku, Alusi Toa Toba dan bahkan teman-teman yang membuka akses-akses buku
kepada anak-anak jalanan. Seharusnya mereka-mereka ini yang pantas mendapatkan
apresiasi di banding kepala-kepada dinas pendidikan di daerah. 20 % dana APBN yang di alokasikan ke pendidikan
seperti terlewatkan begitu saja.
Gerakan
buku menuju desa ini menjadi hal penting, selain berguna bagi masyarkat, ini
sekaligus tamparan bagi sistem pendidikan kita yang kian lama semakin merosot.
Dikota, orang-orang sudah menikmati perbustakaan digital, sementara perpustaan
kecil saja di kabupaten kota tidak ada. Bagaimana lagi yang di desa?
Padahal,
tempat perbelanjaan seperti mini market sudah sampai ke daerah-daerah. Apakah
perusahaan mini market itu lebih besar dari sistem pendidikan kita? Apakah
konsumtif berbelanja lebih penting ketimbang konsumtif informasi. Sepertinya
dari puluhan tahun lalu, setiap desa tidak pernah kesulitan untuk berbelanja,
mereka selalu memiliki sistem budaya pasar tradisional. Lantas mengapa
perkembangan mini market lebih cepat ketimbang perkembangan fasilitas
informasi?
Kita
perlu bercermin untuk masa depan generasi kita. Kita harus melahirkan generasi
yang memiliki kemampuan agar menjadi sumber daya yang bergenuna dan tidak lagi
melahirkan generasi yang suka berbelanja dengan gaya hedonisme.
Menanamkan Informasi
Seharusnya
sudah selaras dengan program pemerintah yang mulai membangun desa, dan semoga
program pembangungan sumberdaya manusianya tidak sampai terlupakan. Karena
selama ini daerah desa hanya menjadi bulan-bulanan saja tanpa menikmati apa
yang sudah di ambil dari desa.Sama halnya seperti buku. Tidak ada hutan di
kota, hutan yang berada di desa yang di babat pohonnya dan di ubah menjadi
kertas yang akhirnya menjadi buku. Namun buku-buku bermutu tak pernah berada di
desa. Semua dibawa ke kota dan desa akan tetap seperti itu selamanya.
Tidak
susah merubah pola lama yang sudah berjalan ini. Sebab sudah banyak ide dari
orang-orang yang perduli ,sekarang saatnya pemerintah kita yang harus menerima
bolanya. Siap tidak siap pemerintah harus siap. Mengembangkan desa tidak cukup
dengan pembangunnan fisik desa, masyarakatnya yang seharusnya di utamakan.
Terutama daera-daerah yang masih tergolong
tertinggal seperti di Papua, Nusa Tenggara dan desa-desa yang berada di
kawasan perusahaan2 besar yang cendrung sangat tertinggal.
Jika
pemerintah niat untuk membangun desa, dengan banyaknya anggaran yang telah di
tuangkan, tak mungkin tak bisa. Terkecuali pemerintah yang kurang informasi
tidak mau belajar bagi para pengabdi yang sudah menjalankannya bertahun-tahun. Jika harus belajar dari mereka mengapa tidak
tentunya.
Sementara
bagi kawan-kawan yang sedang melakukannya secara independen dengan bermodalkan
kepedulian, jangan lah berhenti. Teruslah menyebarkan kepedulian, teruslah
mempengaruhi orang lain untuk membangun masyarakat di desa. Kita percaya suatu
saat sistem pendidikan kita akan berubah. Dan orang-orang hebat akan lahir dari
desa.
Dan
bagi kita yang belum bisa berbuat, marilah kita berapresiasi dengan
Berterimakasih pada orang-orang yang masih
peduli pada kondisi pendidikan di desa, bagi teman-teman yang membuat gerakan
buku menju desa, yang membuka rumah belajar di desa, bagi mereka yang memberika
buku-buku untuk rumah belajar di desa dan pada mereka yang siap mengabdi untuk
membajukan sumberdaya manusia di desa.
Jangan
lupa tentunya, agar kita mulai berkontribusi pada gerakan-gerakan buku menuju
desa, paling tidak menyumbangkan buku-buku bermutu untukk dikonsumsi masyarakat
desa guna membangun sumberdaya manusia di desa. Sebab dengan bersekolah saja
tidak cukup, karena buku yang di konsumsi mereka tidak memiliki pembanding
ataupun refrensi yang berbeda. Sehingga tidak ada sirkulasi informasi. Sebab, pendidikan tanpa sirkulasi informasi
adalah doktrin
*Penulis aktif di
gerakan sosial dan juga sebagai Pendiri
Ruma Parguruan
Kamis, 21 Agustus 2014
Tulisan adalah Kekuatan
Terbit di Harian Analisa Sabtu, 2 Agustus 2014
*Boy Raja Pangihutan Marpaung
Banyak yang bilang, nuklir
adalah senjata paling mematikan di dunia. Kekuatan dan dampaknya dapat
menghancurkan dunia beserta isinya. Namun, hal ini tak berlaku bagi para EZLN
(kelompok pembebasan di Meksiko). Senjata paling mematikan bagi mereka adalah
kata-kata. Dengan kata, dunia yang ada saat ini tercipta. Segala sesuatu ada
karena kata. Dengan kata, pengetahuan seseorang dapat terisi.
Seperti yang diutarakan filsuf Perancis, Michael
Foucault, power is knowledge. Hal ini juga ditegaskan Subcomandante Marcos
(Pemimpin EZLN), senjata utama mereka adalah kata yang bisa mengubah dunia
berserta isinya. “Kata adalah senjata,” tegasnya.
Buku
berjudul Our Word Is Our Weapon yang dituliskan Marcos sangat menginspirasi
para pengikutnya. Mereka menganggap salah satunya alat yang sangat membahayakan
karena tajam nya kata itu.. Kata- kata yang dikeluaarkan dari mulut itu semua
memiliki makna dan setiap kalimat yang dilontarkan memiliki maksud.
Ketajaman
kata yang dimaksudkan dalam hal ini tentu memiliki arti yang mendalam. Memiliki
sebuah makna yang sangat luar biasa dan memiliki maksud untuk mendapatkan
sasaran dari kata yang dilontarkan. Begitu juga dengan kalimat, tidak lagi sebuah
gabungan kata yang di rangkai menjadi indah bunyinya, melainkan beberapa
kata-kata yang memiliki makna dan di gabunngkan menjadi memiliki maksud tertentu untuk tujuan
tertentu berdasarkan kebenaran.
Kekuatan
Dalam Tulisan
Hal ini tentu
mengingat kan kita yang sering menggunakan kata dan kalimat untuk menggambarkan
suatu atau menyampaikan bahkan mengkritik sesuatu. Bagaimana sebuah kata dan
kalimat yang kita keluarkan merupakan
kekuatan yang kita miliki dalam hal yang menujukan suatu penyampaian yang kita
perjuangkan. Itulah yang dimaksudkan dengan writing
is power.
Kata dan kalimat
yang kita gunakan untuk menuliskan sesuatu, harus memliki sebuah makana dan
tujuan yang memang didasari dari hal sebuah realitas. Sebab realitas dalam
sebuah tulisan itu merupakan sebuah kekuatan. Kekuatan untuk mengkritik,
menyampaikan, dan penggambaran. Hal ini akan mendorong bagaimana maksud dari
tulisan itu mengarah kemana.
Menulis tanpa
mendapatkan realitas sesungguhnya tentu akan mengurangi dan bahkan membuat
tuisan itu menjadi tumpul dan tidak memiliki kekuatan. Spontanitas merupakan
penyebab dari hal tersebut. Tanpa melakukan proses praksis
(Refrensi-Diskusi-Refleksi-Aksi-Evaluasi) sudah langsung dapat menyimpulkan
sesuatu.
Mencegah hal
tersebut, maka perlunya para penggiat tulisan mendekatkan diri kepada realitas,
karena tanpa dibarengi dengan realitas tulisan itu sama sekali tidak menggigit.
Kita tentu memiliki sasaran tulisan yang menunjukkan kepada siapa kita akan
tujukan tulisan tersebut. Misalnya kita mengarahkan tulisan yang berbentuk
kampanye kepada masyarakat awam, tentu kita harus tahu, bagaimana gaya bahasa
yang harus kita lontarkan dalam tulisan agar masyarakat awam itu mengerti
terhadap seruan dalam tulisan kita.
Hal ini juga menggambarkan kita
sebagai penulis, seberapa pahamnya kita tentang apa yang telah kita tulis.
Banyaknya kebutuhan ilmu pengetahuan merupakan dasar dari menulis, sehingga
harus banyak pula yang kita ketahui tentang apa yang kita tulis melalui
realitas sosial yang kita hadapi dan tidak lupa dengan membaca.
Belajar dari Pendahulu
Sangat
banyak para pejuang terdahulu yang menggunakan tulisan sebagai kekuatan untuk
merealisasikan dan mengkampanyekan sesuatu yang diperjuangkan mereka. Mereka merealisasikannya melalui
tulisan-tulisan, baik berbentuk pucukan surat, puisi, novel dan bahkan
menuliskan buku, seperti Marcos.
Soekarno, proklamator Indonesia yang
menulis di media-media cetak untuk melawan penjajahan Belanda,
tulisan-tulisannya sekarang menjadi buku “Dibawah Bendera Revolusi”. Ia
mengatakan jangan sekali-sekali melupakan sejarah, sebab barang siapa yang
melupakan sejarah bangsanya, maka akan lupa pula untuk memajukan negaranya.
Pramoedy
Ananta Taoer, seorang sastrawan yang telah menulis lebih dari 50 buku, dalam
buku-bukunya. Dia melontarkan kritik –kritik politik dalam tulisannya, di juga
memperjuangkan humanisme dalam budaya-budaya feodal yang masih di terapkan di Jawa,
serta kampanye kekejaman penjajahan Jepang di Indonesia.Setiap tulisannya
memiliki sejarah realitas yang dihadapinya sendiri. Pram mengatakan “Menulislah
maka engkau akan tahu sejarah mu”.
Voltaire, merupakan seorang pengarang,
sejarawan, pengacara dan filsuf ternama Perancis, ia terkenal karena telah
menulis lebih dari 20 ribu surat dan 2 ribu buku dan pamfle. Dia pejuang
Humanisme pra meledaknya revolusi Prancis melalui gagasan-gagasan dalam
tulisannya. Dia berkata “Ok, ok, teman saya yang baik, sekarang bukan waktunya
untuk membuat musuh”.
Ernesto Guavara,
seorang Revolusioner dari Argentina yang melakukan pembebasan rakyat Cuba. Dia
selalu menuliskan di buku hariannya yang saat ini sangat terkenal dan menulis
surat-surat pada kaum muda. Dia berkata kepada tema grilyanya “Tidakkah kau
membaca, paling tidak menulis diary mu, kalau kau tidak melakukannya, lebih baik kau berada di rumah mu”
Inilah para pendahulu ternyata berjuang
berdasarkan inteligensia mereka, dari praktek hingga gagasan-gagasan
yang mereka keluarkan berdasarkan realitas yang mereka rasakan dengan nyata di
tuangkan juga kedalam bentuk tulisan, dan memiliki sasaran serta target
tertentu. Mereka membuktikan juga bahwasanya tuslisan-tulisan yang mereka
ciptakan memiliki nilai-nilai yang menjadi kekuatan dalam perjuangan mereka.
Jadi sudah waktunya kita menulis
dengan hal yang berangkat dari realitas agar menciptakan realitas baru, dan
tulisan kita itu memiliki kekuatan, dan bukan lagi retorika belaka, antara
praktek dan gagasan yang kita keluarkan seimbang. Antara ide dan perjuangan memiliki
sasaran dan target yang jelas serta memiliki maksud yang jelas dalam tulisan
akan menjadi kekuatan untuk menciptakan apa yang kita inginkan dari tulisan itu.
Penulis
aktif dalam gerakan sosial dan
Ka.Divisi Investigasi & Riset di
Hutan Rakyat Institute (HaRI)
Kamis, 24 Juli 2014
Tak Lagi Organik
Indah matamu terkadang menipu
Segar bagaikan tumbuhan yang baru mekar
Menyapa pagi dengan embun bersyahdu
Bingar ria membangunkan sangar
Rambut dan kulitmu halus bersih
Bagai kanvas sedia kala terbingkai
Rajut wajah yang kian memutih
Lambai pelukis tak lagi mengubris
Kaki kuat mu berjalan merdu
Berlayar mengarungi tanah
Akar rumput selalu menyambut
Belajar setia hingga renta
Tangan manis memiliki jari lentik
Selalu membelai dengan harapan
Memegang erat bagai tercekik
Pertanda akan ada tangisan
Maka keriput tak lagi bangga
Enggan sembuh di hadapan suntik
Tubuh elok secepat curiga
Itu pertanda kau tak organik
Medan
25 Julli 2014
Segar bagaikan tumbuhan yang baru mekar
Menyapa pagi dengan embun bersyahdu
Bingar ria membangunkan sangar
Rambut dan kulitmu halus bersih
Bagai kanvas sedia kala terbingkai
Rajut wajah yang kian memutih
Lambai pelukis tak lagi mengubris
Kaki kuat mu berjalan merdu
Berlayar mengarungi tanah
Akar rumput selalu menyambut
Belajar setia hingga renta
Tangan manis memiliki jari lentik
Selalu membelai dengan harapan
Memegang erat bagai tercekik
Pertanda akan ada tangisan
Maka keriput tak lagi bangga
Enggan sembuh di hadapan suntik
Tubuh elok secepat curiga
Itu pertanda kau tak organik
Medan
25 Julli 2014
Senin, 14 Juli 2014
Merindukan Presiden Idaman Proletar
Terbit di Harian Analisa Selasa, 8 Juli 2014
Oleh: Boy Raja Pangihutan Marpaung.
Pergantian rezim yang semakin dekat merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia. Sepuluh tahun Susilo Bambang Yudhoyono menjadi kepala negara kini tiba waktunya dia harus memberikan jabatannya kepada rezim baru. Pesta demokrasi yang sering disebut dengan pemilihan umum (Pemilu) akan menentukan kepada siapa dan rezim seperti apa yang akan tiba di setiap sendi kehidupan dan sosial rakyat Indonesia nantinya.
Penantian dan harapan rakyat Indonesia akan masa depan negara kini ditentukan oleh banyaknya lubang pada kertas yang akan disebar di seluruh tempat di Nusantara. Setiap lubang tentu memiliki penantian dan harapan yang sangatlah memberikan pesan pada rezim baru. Antusias rakyat Indonesia akan rezim baru terlihat jelas penuh harapan ketika angka golput menurun. Sikap politik yang diberikan rakyat tentu sebuah kerinduan akan sosok pemimpin yang mengharapkan kehadiran rakyatnya.
Namun sebenarnya, yang memiliki harapan yang sangat besar akan perubahan yang lebih baik untuk kehidupan manusia di Indonesia adalah mereka kaum proletar. Kesejahteraan dan keadilan merupakan sebutan yang dikampanyekan atas kehidupan mereka yang sangat jauh dari kehidupan yang layak. Dan tentu semestinya merekalah menjadi takaran atas harapan rezim baru yang akan datang.
Penentu yang Terabaikan
Dari strata kasta kehidupan sosial atau kelas-kelas masyarakat yang ada, proletar merupakan kelas yang paling bawah. Jika kita mengingat di buku pelajaran sosiologi maka akan ada gambaran kelas-kelas masyarakat. Gambaran yang berbentuk piramida dan dibagi menjadi tiga bagian yakni, kelas di bagian teratas, kelas menengah dan kelas bawah. Proletar menempati bagian terbawah dari bagian kelas terbawah tersebut. Proletar atau kelas yang terbawah dari strata kehidupan sosial dan sisanya merupakan kaum borjuis dan kaum pemilik modal.
Proletar atau proletariat ini berasal dari kata latin proles yang artiannya kelas sosial rendah. Maka kaum proletar ini sering disamakan dengan para buruh, buruh tani, petani, gelandangan dan kaum miskin kota, karena merekalah yang menempati bagian terbawah dari segitiga piramida tadi. Namun dalam sejatinya kaum proletar ini merupakan kelas terbawah yakni mereka yang hanya mengandalkan otot nya atau sering kita sebut buruh.
Jika kita lihat gambar dari piramida itu, dari atas lebih lancip dan semakin lebar kebawah layaknya gambar segitiga. Tentu itu menunjukkan kwantitas dari kelas tersebut. Maka dapat kita simpulkan bahwa kelas terbawah merupakan kelas terbanyak dari semua kelas yang ada. Atau proletar mendominasi kaum borjuis dan pemodal dari segi jumlah banyaknya orang. Tentu ini menjadi kebenaran mutlak, jika dilihat dari sebuah perusahaan, contohnya pemiliknya adalah satu atau lima jika perusahaannya Tbk. sementara burhnya akan mencapai ribuan orang. Begitu jugalah demikiannya dalam negara.
Berarti dalam hal tersebut, jika kita kembali kepada topik pemilihan yang akan menentukan pemimpin yang akan datang, seharusnya kaum proletar merupakan penentu siapa yang akan memimpin. Dari jumlah yang mendominasi tentu akan dapat melahirkan pemimpin. Serta mereka juga seharusnya menjadi acuan para kandidat yang akan mencalonkan diri dengan misi rezim yang barunya.
Namun dalam kenyataan yang terlihat saat ini, kaum proletar seakan terabaikan dari penglihatan para kandidat dan mereka yang memiliki kepentingan, walaupun mereka tetap menggunakan kata kesejahteraan dan keadilan dalam setiap kampanyenya. Seakan tidak ada ruang bagi par proletariat untuk menjadi salah satu penentu arah bangsa kedepan.
Ruang-ruang publik pada saat pemilihan presiden seperti ini seharusnya diisi lebih banyak dari kaum proletar. Contoh yang sering kita lihat pada saat berita-berita di televisi yang bertemakan pemilu, sangatlah jarang pembicara itu dari kelas mayoritas tersebut. Pengamat politik, pejabat, politikus, pengusaha, akademisi, tokoh agama dan aktivis yang mendominasi ruang publik dalam menyampaikan harapan-harapan pada calon pemimpin yang baru. Lalu kemana mereka para kaum proletar, kaum yang sangat mayoritas? Apa pernah seorang buruh diminta datang ke studio media televisi sebagai narasumber dalam topik pemilihan umum? Tentu tidak! Dan jelas mereka terabaikan.
Suara Penentu Masa Depan
Terabaikannya mereka dari pandangan kelas menengah dan atas dalam menyampaikan suara-suara mereka tentu akan mempengaruhi nasib bangsa ini kedepan. Sebab tak seorang pemimpin itu mengerti bagaimana persoalan para kelas bawah (proletar) jika dia tak pernah menjadi seorang proletar. Kecuali dia berniat untuk mengubah wataknya menjadi watak seorang proletar yang sebenar-benarnya merindukan sebuah kesejahteraan yang sejati. Dengan cara mendekatkan diri dengan mereka dan belajar akan kondisi kehidupan para kelas bawah yang mayoritas itu.
Tidaklah mudah, namun itulah kenyataannya. Para kelas masyarakat yang bukan kelas dari proletar hanya tahu pengertian kesejahteraan dari kamus saja, demikian juga para calon presiden. Sebab yang lebih paham pengertian kesejahteraan adalah mereka yang paling mengharapkan dan merindukannya.
Maka berikanlah mereka ruang dan waktu untuk mengajarkan kita akan kesejahteraan yang sebernarnya. Menyampaikan makna kesejahteraan bagi para calon presiden yang akan datang. Juga bagi mereka yang menggunakan kata kesejahteraan untuk melanggengkan sebuah pekerjaannya. Agar kita mengerti dan paham sebenarnya apa persoalan di negeri ini dan siapa pemimpin yang pantas untuk memperbaiki persoalan tersebut.
Tulisan ini tentu menjadi pesan bagi para calon pemimpin, bahwa sebenarnya rahasia persoalan di negara ini berada di setiap kehidupan kelas bawah. Maka, mulailah mendekatkan diri untuk mendengarkan suara para proletariat itu, sebab suara merekalah penentu masa depan negeri ini. Merekalah punggung yang menahan kelas menengah dan kelas atas agar tetap berdiri pada posisinya, serta merekalah orang yang pantas menjadi panutan dalam memimpin negara ini.
Jika seorang pemimpin yang diidamkan para kaum proletar ini lahir, kedekatan kepada mereka membuat pemimpin tahu mengapa mereka tidak sejahtera dan lebih mudah juga untuk mengubahnya menjadi sejahtera. Dan yakinlah suatu saat piramida kelas masyarakat itu akan berubah menjadi meruncing ke bawah.***
* Penulis aktif di gerakan sosial dan Ka. Divisi Penelitian dan Riset di Hutan Rakyat Institute (HaRI)
Jumat, 23 Mei 2014
Mengenali Gerakan Buruh Lebih Dekat
Terbit di Harian Anlisa 18 Mei 2014
(Tanggapan
atas Tulisan Naurat Silalahi pada Tanggal 8 Mei 2014)
*Boy
Raja Pangihutan Marpaung
May Day merupakan
sebuah hari yang bersejarah di seluruh dunia dan begitu juga di Indonesia. Hari
itu menjadi hari momentual bagi para buruh seluruh dunia untuk mengkampanyekan
kegelisahan dan penderitaan mereka. Maka salah satu tuntutan buruh Indonesia
yang di wujudkan presiden SBY tahun lalu menjadikan libur nasional di 1 Mei
mulai tahun 2014. Dan tahun ini menjadi momentum perdananya mereka untuk mengekspresikan
hari khusus buruh tersebut.
Tidak heran jika masih banyak sebuah jenis usaha seperti,
UD, Persero, CV, dan bahkan PT masih tidak meliburkan para buruh mereka.
Sehingga para buruh sampai melakukan sweeping
ke perusahaan lain seperti di beberapa kota di Indonesia. Salah satu contoh
yang diberikan oleh Naurat Silalahi, si pria yang ingin menjemput barang dari
sebuah percetakan yang “tentu”memiliki pekerja dan dia salah satu pekerja, dia
takut tidak dapat mendistribusikan kepada konsumen barang tersebut. Kenapa
masih ada buruh dipekerjakan di hari buruh nasional yang diliburkan? Hanya
untuk kepentingan keuntungan perusahaan?
Turun kejalan merupakan gerakan serentak para buruh di
hari yang khusus untuk mereka tersebut. Banyak alasan kenapa mereka harus
demonstrasi, mogok kerja, atau bahkan boikot perusahaan langsung. Itu merupakan
gerakan yang di sepakati bersama atas keluh kesah yang mereka dapatkan di
perusahaan. Aksi mereka pada dasarnya tidaklah berhubungan dengan kepentingan
umum, melaikan kepentingan modal yang berjalan mealui tenaga dan tangan mereka
tanpa dihargainya masa depan mereka.
Buruh Tau Aturan
Sebelum
menjejaki gerakan atau serikat buruh sebenarnya kita tidak pantas menilai
dangkal sikap para buruh. Buruh bahkan agen yang terlibat besar menciptakan
sejarah-sejarah di dunia sampai terciptanya negara maju. Dari jaman perbudakan,
hamba-tani dan sampai ke kapitalisme saat ini merupakan kerja tangan para
buruh. Bahkan sehelai benang yang ada di
tubuh kita yang menjaga martabat orang timur agar tidak telanjang itu juga
hasil kerja tangan para buruh.
Persoalan
martabat bangsa dan sopan santun itu tak
ada gunanya jika orang yang ingin menjalankannya tidaklah makan. Meludah
memiliki nilai estetika yang buruk, tentu karena itu tanda hinaan dan mungkin
itu adalah perlawanan estetika yang di lampiaskan mereka. Jangankan meludah,
bahkan sampai menerobos masuk ke gedung-gedung pemerintah seperti pada tulisan
sebelumnya itu merupakan tindakan yang bukan tanpa sebab.
Bagaimana
dengan Spartacus, budak yang sangat ditakuti di dunia karena membunuh dan
menghancurkan sebagian besar negara adikuasa Romawi pada jamannya dan Spartakus
salah satu orang yang ditokohkan akibat perjuangannya melawan perbudakan romawi.
Atau pengharggaan besar bagi para buruh akibat perjuangan mereka yang mampu
menghancurkan kapitalisme pada jaman Soviet. Dan itu juga ditirukan beberapa
negara timur seperti Cina, Korut dan Vietnam. Bahkan mereka menjadi bagian
negara yang di segani negara eropa secara ekonomi.
Meludah
bukanlah tindakan yang tidak memiliki estetika. Bahkan kita merasa terhormat
ketika merobek bendera Belanda dan menjadikan bendera kebangsaan kita dan itu
tentu memiliki kemiripan. Metode mediasi dengan cara berdiskusi dengan pihak
perusahaan atau pemerintah bukanlah hal yang belum dilalui untuk menempuh cara
aksi yang lebih menentang oleh buruh. Buruh mengerti dan tau aturan serta
batasan kemampuan mereka bertindak. Itu terlihat dari apa yang dituntut mereka,
seperti kasus Outsourching, Buruh Harian Lepas, Upah layak dan jaminan
keselammatan kerja.
Itu
bahkan tuntutan yang sudah lebih sepuluh tahun lamanya. Apakah mereka harus
tetap bermediasi seperti yang disarankan penulis sebelumnya? Tapi mungkin sang
penulis sebagai intelektual dan akademisi perlu mendekatkan diri pada buruh.
Rakyat Memiliki Cara
Ini
bukan persoalan karena tuntutan tidak diperdulikan, tapi lebih ke metode
gerakan rakyat yang memang hanya satu-satunya cara yang teruji adalah berdemonstrasi.
Rakyat tidak seintelektual para akademisi yang memiliki metode retorika dalam
mediasi berdialog, jadi pantas rakyat memiliki caranya sendiri dan tentu itu
merupakan cara yang juga bagian dari demokrasi. Bahkan hampir semua masyarakat
luas memakai cara ini untuk menyampaikan aspirasi. Bagaimana dengan hari-hari
kampanye partai pilitik terdahulu yang lebih 1 minggu membuat macet? Karena
program nasional kah? Hari buruh juga diakui secara nasional bahkan
international juga mengakuinya.
Kesejahteraan
merupakan alasan mengapa lahirnya sebuah protes para buruh. Bukan dikarenakan
layak berdasarkan posisi kejanya, tapi sesuai dengan kebutuhan hidup manusia di
negara ini. Pengeluaran dan pemasukan harus disesuaikan dengan anggaran belanja
setiap manusia, tentu itu dipengaruhi oleh harga pasar yang ada.
Misal,
dengan UMP 1,5 juta sama halnya buruh digaji kurang lebih 50 ribu/hari. Sebagai
buruh yang harus mengeluarkan ongkos perjalanan setiap harinya keperusahaan,
memenuhi kebutuhan dapur, menyekolahkan anak dan membayar kontarakan rumah
bahkan tagihan air dan listrik setiap bulannya. Jika dihitung apakah layak
kurang lebih 50 ribu/hari? Kalau memang layak kenapa kita harus mengutuk
tindakan perbudakan Belanda dan Jepang terhadap Romusa dan Jugun Ianfu. Kan
sama saja perbudakan namanya, di gaji tapi tak cukup.
Jika
kita memandang berdasarkan jabatan, tentu kita tidak mengakui adanya orang
miskin di Indonesia. Tentu, tidak semua orang di Indonesia dapat menyekolahkan
anaknya menjadi suster, dokter bahkan menjadi Drs. Karena masih pendidikan
takaran di Indonesia untuk peluang kerja dan menentukan jabatan kerja. Jadi
bagi mereka yang tidak berpendidikan dipantaskan menjadi Romusa kembali?. Bagaimana dengan di Eropa, buruh bergaji besar
namun perusahaan tidak bangkrut bahkan semakin maju perusahaan dan negaranya.
Akumulasi
modal merupakan dasar penyebabnya. Jika dikatakan pada tulisan sebelumnya pada
perusahaan pakaian, setiap buruh dapat menyelesaikan pakaian 6-7 potong dan
keuntungan hanya 20 ribu setelah menggaji buruh 50 ribu. Berarti dari tiap
potongan baju keuntungan hanya sekitar 2.800 atau sekitar 14% dari keuntungan
total. Tentu ini adalah teori yang keliru, sebab kita dapat melihat bagaimana
setiap perusahaan melakukan over produksi, bahkan di hari-hari besar mereka
akan melakukan discount dari 25%
sampai 90%. Apakah perusahaan akan tetap untung dan tidak gulung tikar apabila
keuntungan dari potongan baju hanya 14%? Sementara di hari besar tersebut
permintaan konsumen lebih banyak.
Pemikiran
atas “layak” sebelumnya tidak melewati sebuah nilai lebih yang di ciptakan
kapital untuk melakukan akumulasi. Sehigga paham kapitalisme yang di tentang
buruh pada tulisan sebelumnya adalah penilaian yang biasa dilalukan oleh pihak
perusahaan. Jadi wajar buruh masih menuntut “kelayakan” mereka untuk memenuhi
nafsu komsumtif manusia di Indonesia.
*Penulis aktif di gerakan sosial
dan Ka.Divisi Penelitian dan Riset di Hutan Rakyat Institute (HaRI)